Beranda | Artikel
Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 2)
Sabtu, 7 Desember 2019

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Shalat dengan Menghadap Sutrah (Bag. 1)

Hukum Membuat atau Memasang sutrah Ketika Shalat

Dari hadits-hadits yang telah kami sebutkan, sebagian ulama mengatakan bahwa hukum membuat sutrah adalah wajib. Di antara ulama yang mengatakan wajib adalah Ibnu Khuzaimah, Asy-Syaukani, sebagian ulama madzhab Hambali, dan juga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahumullah. Hal ini dengan dua pertimbangan berikut ini:

Pertama, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Sedangkan dalam kaidah ilmu ushul fiqh, adanya perintah (tanpa ada keterangan tambahan) menunjukkan hukum wajib.

Ke dua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan alasan disyariatkannya sutrah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعِ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ

“Mendekatlah ke sutrah (agar) setan tidak akan bisa memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dinilai shahih oleh Al-Albani) [1]

Baca Juga: Apabila Terlambat datang ke Masjid dan Shalat Jamaah Sudah Selesai

Pendapat Jumhur Ulama

Adapun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa memasang sutrah hukumnya sunnah. Sehingga seseorang tidaklah berdosa jika meninggalkannya. Hal ini karena sutrah dinilai sebagai perkara yang menyempurnakan shalat, sehingga keabsahan shalat tidak bergantung dengannya. Sutrah juga tidak termasuk dalam gerakan di dalam shalat sehingga jika ditinggalkan berarti membatalkan shalat. Hal ini adalah di antara indikasi bahwa sutrah adalah perkara penyempurna shalat seseorang, sehingga hukumnya tidak sampai derajat wajib. Dan menurut jumhur ulama, hal tersebut merupakan indikasi yang memalingkan perintah-perintah dalam hadits di atas dari hukum wajib menjadi sunnah. [2]

Indikasi lainnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, 

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلاَمَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ، فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ

“Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh. Ketika itu, Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku.” (HR. Bukhari no. 76 dan Muslim no. 504)

Indikator lain yang memalingkan dari hukum wajib adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang (yang lewat di depannya, pen.), kemudian ada seseorang yang hendak lewat di hadapannya, maka hendaklah dicegah. Jika dia tidak mau, maka lawanlah dia, karena dia itu adalah setan.” (HR. Bukhari no. 509 dan Muslim no. 505)

Mengomentari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فإن قوله: «إذا صَلَّى أحدُكم إلى شيء يستره» يدلُّ على أن المُصلِّي قد يُصلِّي إلى شيء يستره وقد لا يُصلِّي، لأن مثل هذه الصيغة لا تدلُّ على أن كلَّ الناس يصلون إلى سُتْرة، بل تدلُّ على أن بعضاً يُصلِّي إلى سُتْرة والبعض الآخر لا يُصلِّي إليها.

“Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang (yang lewat di depannya, pen.)” menunjukkan bahwa orang yang shalat terkadang menghadap sesuatu yang membatasi dan terkadang tidak. Model kalimat semacam ini tidaklah menunjukkan bahwa semua orang shalat (harus) shalat menghadap sutrah. Akan tetapi menunjukkan bahwa sebagian orang shalat itu menghadap sutrah dan sebagiannya lagi tidak.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 276)

Baca Juga: Merapatkan dan Meluruskan Shaf Shalat Jama’ah

Pendapat yang Lebih Kuat dalam Masalah Ini

Dengan mempertimbangkan indikasi-indikasi tersebut, wallahu Ta’ala a’lam, yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa hukum memasang sutrah itu sunnah, tidak wajib. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وأدلَّة القائلين بأن السُّتْرة سُنَّة وهم الجمهور أقوى، وهو الأرجح

“Dalil-dalil ulama, yaitu jumhur ulama, yang berpendapat bahwa sutrah itu hukumnya sunnah adalah pendapat yang lebih kuat dan inilah pendapat yang lebih tepat.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 277)

Syaikh Abu Malik mengatakan, “Disunnahkan untuk memasang sutrah di depannya ketika shalat, untuk mencegah orang lewat di depannya dan menghalangi pandangannya dari apa yang ada di belakang sutrah.” (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 342)

Penulis kitab Raudhatul Mutanazzih Syarh Bidaayah Al-Mutafaqqih (1: 285) berkata, “Yang lebih kuat, wallahu a’lam, adalah pendapat ke dua yang mengatakan bahwa sutrah itu hukumnya sunnah mu’akkad. Oleh karena itu, dimakruhkan shalat tanpa menghadap sutrah bagi imam atau orang yang shalat sendirian.” 

Sehingga hukum sunnah tersebut tidak berlaku untuk makmum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أما المَأموم فلا يُسَنُّ له اتِّخاذ السُّترة؛ لأن الصحابة ـ رضي الله عنهم ـ كانوا يصلّون مع النبي صلّى الله عليه وسلّم ولم يتخذ أحدٌ منهم سترة.

“Adapun makmum, maka tidak dianjurkan memasang sutrah. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka dulu biasa shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak seorang pun di antara mereka yang memasang sutrah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3: 278)

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Rumah Lendah, 23 Shafar 1441/22 Oktober 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/53203-hukum-shalat-dengan-menghadap-sutrah-bag-2.html